Begini Tanggapan KPAI Soal Siswi yang Meninggal Depresi di Tangerang

FOTO: Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti (dok.istimewa)

TANGERANG – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan duka mendalam atas meninggalnya salah seorang peserta didik di Kabupaten Tangerang diduga karena mengalami depresi.

Siswi yang duduk di bangku kelas 12 SMAN berinisial ST ini sempat dirawat di salah satu rumah sakit swasta di wilayah Tangerang, dan kemudian dirujuk ke RSJ Grogol Jakarta Barat lantaran mengalami depresi.

Komisioner KPAI Retno Listyarti menjelaskan, pihak keluarga menduga ST depresi karena banyaknya tugas belajar daring selama pandemi Covid-19. Selama itu, ST disibukan dengan tugas-tugas sekolah secara online. Sang ayah melihat waktu anaknya tersita dengan pola pembelajaran jarak jauh (PJJ).

“Anak depresi selama PJJ daring bukan kasus yang pertama,” ungkap Retno, Rabu (18/11/2020).

Jika keterangan yang diberikan orangtua terkait depresi sang anak karena PJJ daring valid dan benar, kata Retno, maka kematian anak selama PJJ di masa pandemi sudah mencapai 4 anak. Catatan sebelumnya diketahui tiga anak meninggal dunia karena PJJ.

“Pertama siswi SDN (8 tahun) yang tewas dianiaya orangtuanya karena sulit diajarkan PJJ daring. Kedua, siswi SMAN di Gowa (Sulsel) dan ketiga, siswa MTs di Tarakan (Kalimantan Utara) yang bunuh diri karena diduga depresi akibat PJJ, meski faktor bunuh diri seorang anak tidak pernah tunggal,” paparnya.

Hasil Pantauan PJJ Di Masa Pandemi

Dari hasil pemantauan terhadap pelaksanaan PJJ Fase pertama yang hanya berlangsung pada Maret-Juni 2020. Peserta didik cenderung mampu mengatasi tekanan psikologis karena pembelajaran tatap muka (PTM) sempat dilakukan selama 9 bulan.

Selain itu, menurut Retno, guru mata pelajaran, wali kelas dan teman-teman satu kelasnya masih sama, dan mereka sudah sempat komunikasi aktif sebelumnya, sehingga sudah saling mengenal dan bisa saling membantu.

“Namun hasil pemantauan pada PJJ fase kedua, anak-anak lebih sulit mengatasi permasalahan psikologis, sehingga berpengaruh pada kesehatan mental seorang anak/remaja,” terangnya.

Sebab, lanjut ia, pada fase kedua ini anak naik kelas dengan situasi yang berubah. Wali kelasnya ganti, guru mata pelajarannya berbeda, dan kemungkinan besar kawan-kawan sekelasnya juga berbeda dari kelas sebelumnya.

“Sementara peserta didik belum belajar tatap muka sejak naik kelas,” katanya.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan ini menuturkan, pergantian kelas dengan suasana yang baru tanpa tatap muka, membuat anak-anak sulit memiliki teman dekat untuk saling berbagi dan bertanya. Akibatnya, kesulitan pembelajaran ditanggung anak sendiri jika anak tersebut tidak berani bertanya kepada gurunya.

Oleh karena itu, lanjut Retno, Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan memiliki peran penting untuk membantu masyarakat, yang dalam hal ini orangtua dan anak, untuk memahami apakah dia (anak-red) terdampak secara psikologis.

“Gejala-gejala umum seperti menurunnya semangat untuk menjalankan aktivitas, mudah marah, dan cepat kehilangan konsentrasi itu memang normal, namun tetap harus diperhatikan jika terjadi secara berkepanjangan,” jelasnya.

“Maka Kemenkes dan dinas-dinas kesehatan di daerah harus bersinergi dengan Dindik dan Kantor Kemenag di kabupaten/kota maupun provinsi, untuk ikut bantu membina kesehatan mental peserta didik,” imbuhnya. (Ris/Hmi)