TANGERANG (BT) – Hasil analisa Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika (Stageof) Klas I Tangerang menunjukkan bahwa kekuatan gempabumi yang terjadi di wilayah Banten selama Oktober 2019 bervariasi.
Sebanyak 104 kali gempabumi tektonik yang bervariasi itu mulai dari M1,9 hingga M6,0 dengan kedalaman dangkal (h<60 km) dan menengah (60≤h<300 km). Sebaran pusat gempabumi (episenter) umumnya berada di laut yaitu pada zona pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia di bagian selatan Provinsi Banten hingga Jawa Barat.
Kepala BMKG Stageof Tangerang Suwardi menjelaskan, gempabumi dengan kekuatan 3 ≤ M ≤ 5 dominan terjadi yaitu sekitar 58% (60 kejadian), diikuti gempabumi dengan kekuatan M < 3 sebesar 39% (41 kejadian), serta gempabumi dengan M > 5 sebesar 3% (3 kejadian).
“Namun tidak ada laporan gempabumi dirasakan maupun merusak selama periode 01-31 Oktober 2019,” terangnya Minggu (3/11/2019).
Menurutnya, gempabumi dengan kekuatan terbesar terjadi di barat Sumatera dengan kekuatan M6,0 di kedalaman relatif dangkal pada 14 Oktober 2019, namun tidak berdampak di wilayah Banten. 87% gempabumi terjadi pada kedalaman dangkal (h<60 km) dan 13% gempabumi terjadi di kedalaman menengah (60≤h<300 km).
“Bencana terjadi tidak menunggu kapan kita siap, maka dari itu kita harus sebaik mungkin mempersiapkan diri kita dan keluarga untuk mengantisipasinya,” kata Suwardi.
Ia melanjutkan, pada 5 November diperingati sebagai Hari Kesadaran Tsunami Sedunia (World Tsunami Awareness Day). Tsunami adalah peristiwa yang jarang terjadi, namun dampaknya bisa sangat mematikan.
Di dunia, lanjut ia, tercatat sebanyak 58 kejadian tsunami telah menewaskan lebih dari 260.000 jiwa, atau rata-rata 4.600 jiwa per kejadian dalam 100 tahun terakhir. hal ini melampaui jumlah korban bencana alam lainnya. Jumlah korban terbanyak dalam periode tersebut adalah tsunami Samudra Hindia pada Desember 2004.
“Jumlah korban saat itu sekitar 227 ribu tersebar di 14 negara. Indonesia, Sri Lanka, India, dan Thailand adalah negara yang paling terdampak,” ujarnya.
Dikatakannya, sebagian besar kejadian tsunami di Indonesia maupun di dunia disebabkan oleh gempabumi. Selain itu, sambungnya, tsunami juga bisa disebabkan oleh longsoran bawah laut letusan gunung api di laut, serta jatuhnya meteor ke laut. Salah satu tsunami terbesar dan paling merusak yang disebabkan oleh letusan gunung api adalah saat Gunung Krakatau meletus pada 26 Agustus 1883.
“Letusan ini menghasilkan gelombang yang mencapai sekitar 41 meter, menghancurkan kota-kota pesisir dan desa-desa di sekitar Selat Sunda serta menewaskan sekitar 36.417 orang,” tuturnya.
Ia menyimpulkan, Urbanisasi yang cepat dan meningkatnya pariwisata di daerah-daerah yang rawan tsunami membuat semakin banyak orang berpotensi terpapar bahaya. Maka pada 2019, Hari Kesadaran Tsunami Sedunia fokus pada pengurangan dampak bencana terhadap infrastruktur kritis dan gangguan layanan dasar.
“Mari kita jaga bersama infrastruktur yang sudah dibangun oleh pemerintah seperti tempat dan rambu-rambu evakuasi, alat-alat pendeteksi gempabumi dan peringatan dini tsunami yang ada di sekitar tempat tinggal kita,” katanya.
“Berinvestasi dalam infrastruktur tangguh, sistem peringatan dini, dan pendidikan sangat penting untuk menyelamatkan jiwa dan melindungi aset kita terhadap risiko tsunami di masa yang akan datang,” imbuhnya. (Hmi)