TANGERANG (BT) – Buruh pabrik garmen PT. Sandrafine Garment di Jalan Prabu Siliwangi, Kelurahan Keroncong, Kecamatan Jatiuwung, Kota Tangerang menggelar aksi demo, Kamis (17/10/2019).
Massa aksi yang terdiri dari ibu-ibu ini merupakan buruh perusahaan yang sudah tutup sejak beberapa waktu lalu. Puluhan massa ini berorasi sambil membentangkan spanduk di depan pintu gerbang perusahaan tersebut.
Salah seorang karyawan bagian sewing yang di PHK Badriah menuturkan soal pemutusan kerja sepihak yang dialaminya itu dinilai ngawur. Sebab, pihak perusahaan belum memenuhi hak-haknya sebagai karyawan. Bukan itu saja, lanjut Badriah, soal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) di perusahaan itu diduga tidak tercatat Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Tangerang.
“Kami mengalami ketidakadilan. Kami pekerja garmen yang sudah puluhan tahun bekerja tidak diberikan hak kami, dengan berbagai macam alasan,” kata Badriah.
Ia bersama rekan-rekan lainnya tidak ada yang membela dan memperjuangkan haknya. Padahal, lanjut Badriah, para pekerja ini menjadi bagian organisasi serikat pekerja yang ada di dalam perusahaan itu. Namun pihak serikat pekerja di perusahaan itu hanya diam saja, tidak memperjuangkan.
“F-Lomenik SBSI, lalu mengirim surat kepada pihak perusahaan, namun tidak digubris. Lalu Kami laporkan dan melakukan perundingan dengan Disnaker. Setelah itu, satu per-satu pekerja dipanggil pihak perusahaan untuk tanda tangan pengunduran diri dengan kompensasi 10 juta,” bebernya.
“Dalam kondisi terjepit, pekerja mendirikan serikat pekerja buruh F-Lomenik SBSI, mendengar kabar itu pihak perusahaan mengancam mutasi dan PHK,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua DPC Federasi Logam Mesin Elektronik (F-Lomenik) Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Sisjoko Wasono menjelaskan, pasca tutupnya perusahaan garmen ini, pihak managemen mengabaikan hak-hak karyawan yang rata-rata sudah bekerja lebih dari 20 tahun tersebut.
“Dalam kondisi situasi yang tertekan, pekerja ini diputus hubungan kerjanya (PHK) secara sepihak. Dengan alasan kontrak kerja habis. Tidak hanya itu, pekerja pun tidak diberikan pesangon,” ujar Sisjoko Wasono.
Ia juga mengungkapkan bahwa pihaknya sudah bertemu dengan pengacara perusahaan tersebut, namun hasilnya dead-lock.
“Pertemuan terakhir, pihak perusahaan hanya mampu memberikan kompensasi sebesar 35 juta. Dari pihak pekerja belum bisa menerima itu, dan minta kalau pabrik tutup, segera haknya diberikan sesuai dengan peraturan. Dan pekerja janji tidak ada yang neko-neko,” urainya.
Setelah perundingan menemui jalan buntu, lanjut Sisjoko, pekerja dimutasi di bagian kebersihan dan jika tidak mau diberikan Surat Peringatan (SP). “Itu kan artinya sudah mengintimidasi pekerja, serta memaksa untuk kerja yang bukan porsinya. Ditambah dengan ancaman, jika tidak bekerja tidak akan dibayar dan akan di-PHK. Lah, ini sekarang 31 pekerja di-SP dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri,” pungkasnya. (Hmi)