TANGERANG – Masa jabatan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta akan berakhir pada 16 Oktober 2022 mendatang. Terhitung sejak 2017 Anies menjabat Gubernur DKI dengan tenggang waktu selama 5 tahun.
Kekosongan jabatan tersebut nantinya bakal diisi oleh penjabat atau biasa disebut PJ Gubernur. Terkait hal itu pemerintah telah menyepakati tiga nama calon PJ Gubernur DKI Jakarta.
Tiga nama yang dimaksud adalah Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres) Heru Budi Hartono, Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Marullah Mattali, serta Dirjen Politik dan Pemerintah Umum (Polpul) Kemendagri Bahtiar.
Dari tiga nama calon tersebut Bahtiar memperoleh poin tertinggi berdasarkan hasil survei lembaga Kajian Politik Nasional (KPN). Bahtiar memperoleh dukungan warga sebanyak 42 persen mengungguli dua nama calon Pj Gubernur DKI Jakarta lainnya yakni Heru dan Marullah.
Data tersebut berdasarkan hasil survei lembaga KPN pada periode 20 – 24 September 2022 bertajuk evaluasi kerja Gubernur DKI Jakarta dan harapan publik pada Penjabat Gubernur masa tugas 2022 – 2024.
Direktur Eksekutif KPN Adib Miftahul mengatakan, saat responden disodorkan pertanyaan jika diberi hak suara, siapa yang akan dipilih sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta masa tugas 2022-2024. Sebanyak 42 responden memilih Bahtiar menakhodai DKI Jakarta sebagai penjabat Gubernur. Sementara 26 persen untuk Marullah Matali, 7 persen Heru Budi Hartono, dan 25 persen responden tidak menjawab.
“Bahtiar mendapatkan perhatian publik paling tinggi, sementara Heru Budi Hartono paling rendah,” ungkap Adib saat menggelar konferensi pers.
Harapan publik pada Bahtiar, lanjut Adib, karena 26 persen responden menghendaki PJ Gubernur DKI Jakarta sosok yang netral dari kepentingan politik, 12 persen menghendaki netral dari polarisasi masa lalu. Sementara 34 persen menginginkan sosok yang ramah dan merakyat.
“Sebanyak 26 persen responden menghendaki Penjabat Gubernur DKI Jakarta netral dari kepentingan politik. Ini kata kunci dari survei ini. Angka tersebut merujuk kepada sosok Bahtiar yang berlatarbelakang birokrat dan bisa menjadi jembatan antara kepentingan Pemprov DKI Jakarta dengan pemerintah pusat,” jelasnya.
Adib menambahkan, peta politik di DKI Jakarta sejak medio 2017 kental dengan politik identitas, sehingga harapan publik pun tercermin dari angka 12 persen penjabat Gubernur DKI Jakarta netral dari polarisasi masa lalu.
“Dampak dari polarisasi itu kemudian yang membuat responden khawatir, sehingga sangat realistis sekali jika ada temuan 26 dan 12 persen penjabat Gubernur DKI Jakarta yang netral. Dari tiga sosok calon penjabat Gubernur DKI Jakarta, sangat mudah dianalisa, misalnya Pak Heru kental dengan pusaran istana, Pak Marullah dicap sebagai orangnya Anis Baswedan. Makanya sangat logis Bahtiar menjadi titik tengah yang dipilih warga DKI, karena mereka ingin merdeka dari polarisasi,” terangnya.
Hasil survei itu ditanggapi Komunikolog Politik dari Forum Politik Indonesia Tamil Selvan.
Senada dengan Adib, Kang Tamil mengatakan, pilihan responden kepada Bahtiar karena menginginkan figur Penjabat Gubernur yang tidak terafiliasi secara politik.
“Jika kita menggunakan pendekatan analisa SWOT, tentunya Pak Heru itu dekat dengan lingkaran kekuasaan di Istana. Tentunya ada poin-poin di benak masyarakat nantinya ketika di 2024 terjadi kontestasi, akan terjadi ketidakseimbangan, terjadi keberpihakan,” katanya.
“Begitu juga poin kepada Pak Marullah selaku Sekda DKI Jakarta. Karena kita tahu, Pak Anies sebagai Capres. Walau bagaimana pun, ada keterikatan emosi antara Marullah dengan Anies,” imbuhnya.
Sementara sosok Bahtiar, lanjut Kang Tamil, lebih independen daripada Heru dan Marullah.
Diketahui, survei tersebut dilakukan kepada 600 responden di DKI Jakarta dengan metode Multistage Random Sampling yang dilakukan melalui kuesioner digital dan sambungan telepon. Margin error 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. (Hmi)