(BT.id) – Terkait isu dugaan jabatan menteri bernilai 500 Miliar rupiah mencuat ke permukaan. Dugaan isu tersebut menjadi perbincangan hangat di ruang-ruang publik saat ini.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner, Emrus Sihombing dalam keterangan tertulisnya menyampaikan, sebaiknya para pihak mampu menahan diri untuk tidak terlalu reaktif menolak atau membantah isu tersebut.
“Sebaiknya mengajak para pihak untuk saling konfirmasi menguji kebenaran isu tersebut. Bukan malah seolah kebakaran jenggot,” ungkap Emrus, Selasa (26/11/2019).
Argumentasi penolakan dengan alasan gaji yang diterima sebagai menteri, kurang lebih hanya sebesar Rp100 juta per bulan untuk seorang menteri. Sehingga menurutnya tidak logis mau membayar 500 M rupiah, karena sangat jauh dari gaji yang diperoleh selama lima tahun, yakni sekitar 6 M rupiah.
“Argumentasi ini terlalu sederhana dan sangat lemah. Bila memang hasil investigasi ada yang mau membayar 500 M rupiah, boleh jadi orang yang bersangkutan telah melakukan kalkulasi dalam bentuk korupsi anggaran kementerian per-tahun yang mencapai puluhan triliyun rupiah atau korupsi kebijakan, seperti perijinan,” terangnya.
Menteri itu tetap manusia, lanjut Emrus, yang bisa saja jabatannya sebagai produk transaksional. “Bukankah beberapa menteri kita sudah ada yang berurusan dengan KPK terkait dengan tindak pidana korupsi,” tegasnya.
Kemudian, kata Emrus, alasan bahwa dengan jumlah uang sebesar 500 M rupiah akan mudah dideteksi dan diketahui oleh PPATK. Argumentasi ini menapikkan ungkapan, “maling selalu selangkah lebih maju” daripada penindakan atau pencegahan.
“Dari sisi positif isu ini justru bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan investigasi lebih lanjut oleh aparat hukum dan atau media massa, agar memang penyelenggaraan negara kita menjadi transparan,” tukasnya.
Pengamat politik ini pun menyarankan agar fakta, data, dan bukti yang dimiliki HD sebagai orang yang melontarkan isu tersebut, dimintai pertanggungjawaban.
“Publiknya harus bersedia menyampaikan atau melaporkan kepada aparat hukum dan atau media massa. Jika tidak, lontaran pandangan ini berpotensi menimbulkan kegaduhan di ruang publik,” pungkasnya. (Rls/Hmi)